Penerbit luar negeri berlomba “menjual” Saddam Hussein dan Perang Irak. Di pasaran lokal, Usamah bin Ladin masih menang pamor.
MISALKAN saat ini ada angket di Indonesia, mana lebih populer, Saddam Hussein ataukah Usamah bin Ladin, pemenangnya akan tetap Usamah jika indikator yang digunakan adalah jumlah terbitan buku tentang kedua tokoh itu. Setelah Amerika menyatakan Usamah bin Ladin bertanggung jawab atas penghancuran Menara Kembar WTC, September 2001, tak kurang dari tujuh judul buku berbahasa Indonesia tentang Usamah terbit di negeri ini. Kini, setelah Amerika—dan para sekutunya—menyerbu Irak, di toko buku masih sangat sedikit produk penerbit lokal tentang Irak, atau tentang Saddam Hussein sekalipun.
Tentang Usamah, misalnya, bisa disebut tulisan Adian Huseini, yang menulis buku Jihad Osama vs AS (Gema Insani Press), lalu Ready Susanto, Osama bin Laden: Jihad Sepanjang Hayat (Kiblat). Gramedia Pustaka Utama menerbitkan Di Balik Perseteruan AS vs Taliban: Perang Afganistan. Dari tangan mantan petinggi intelijen, Z.A. Maulani, hadir Perang Afganistan (Dalancang Seta). Penerbit Mizan di Bandung menerbitkan Osama Melawan AS. Bahkan koresponden Kompas di Kairo menuliskan pengalaman jurnalistiknya meliput Afganistan dalam buku Afganistan di Tengah Arus Perubahan.
Buku-buku tersebut tergolong laris di pasar, dan beberapa mengalami cetak ulang. Penerbit Kiblat, misalnya, lewat pengurusnya, Hawe Setiawan, mengaku mencetak ulang dua kali bukunya, dengan total oplah 6.000 eksemplar. Gema Insani Pers (GIP) tidak menyebut angka. Nuryasin, editor GIP, hanya mengatakan bahwa karya Adian Huseini yang mereka terbitkan “cukup laris”.
Mizan punya cerita agak unik. Menurut Hernowo, satu di antara perintis penerbit asal Bandung ini, buku tentang Usamah bin Ladin telah mereka terbitkan sepuluh bulan sebelum tragedi September 2001. Ketika dilepas ke pasar pun, sambutan konsumen bisa dibilang adem-ayem. Namun, setelah serangan maut itu, dalam sehari buku tersebut bisa laku 400 eksemplar, dan dalam sebulan pernah dicetak 40 ribu eksemplar. “Buku itu ibarat durian runtuh bagi Mizan,” kata Hernowo.
Hernowo seperti hendak menegaskan, ketika menerbitkan buku tentang Usamah, Mizan tidak berpikir tentang keberpautannya dengan perang AS-Taliban. Itu pula sebabnya sekarang pun Mizan belum berniat menerbitkan buku tentang Perang Irak, apalagi tentang Saddam Hussein. “Walaupun kita sudah bisa memprediksi perang itu, tidaklah mungkin menerbitkan bukunya hanya dalam waktu empat bulan,” kata Hernowo.
Mengapa para penerbit Indonesia terkesan kurang “terangsang” menerbitkan buku mengenai Saddam Hussein atau Perang Irak? “Mungkin karena Saddam dianggap bukan tipikal pemimpin muslim yang baik, dan tidak bisa diidentifikasi sebagai pahlawan muslim,” kata Hernowo. Akan halnya Gramedia Pustaka Utama (GPU), ketika mereka menerbitkan buku tentang perang Afganistan, pun lakunya tak seberapa. Buku yang dikemas mengejar aktualitas perang itu dicetak 5.000 eksemplar, dan hingga kini belum habis terjual. “Banyak pembaca sudah tak tertarik pada perang Afganistan,” kata Direktur GPU, Priyo Utomo. Kini, Priyo mengabarkan, GPU justru baru menerbitkan terjemahan buku The Leadership Secrets of Colin Powell, karya Oren Harari.
“Bahan untuk menulis topik Irak atau Saddam cukup sulit,” tutur Priyo. Jika membandingkan fenomena Saddam Hussein dengan Usamah bin Ladin, Priyo menilai sosok Usamah lebih memiliki dinamika dibandingkan dengan Saddam. “Usamah kan tidak sangat hitam-putih, dan kemunculannya menimbulkan keterkejutan banyak orang juga, sehingga lebih menarik untuk dibaca,” ia menambahkan.
GIP malah tak berencana menerbitkan buku tentang Saddam. “Kalau ada penulis yang mengirim naskahnya, kami akan menilainya. Dan jika dianggap layak, baru kami terbitkan,” kata Nuryasin. Sejauh ini memang baru satu buku yang membahas Perang Irak, yakni Perang Iraq-AS: Hegemoni Baru AS di Timur Tengah dan Dampak Globalnya. Penerbitnya adalah Center for Middle East Studies (COMES), yang beralamat di Kebon Kacang IX, Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Disunting oleh Mohammad Safari dan H. Almuzzammil Yusuf, sayangnya buku ini tak cukup istimewa: hanya memindahkan sejumlah data dari beberapa situs internet, menerjemahkannya, lalu sedikit diberi bab khusus yang disebut Perspektif Indonesia dalam konflik AS-Iraq. Untuk menampilkan perspektif Amerika, penyunting mendownload situs milik Rand Corporation yang memiliki Lembaga Penelitian Pertahanan Nasional. Sedangkan untuk perspektif Irak, sumber utamanya adalah situs Palestina-info dan Al-Jazeera.
Lebih banyak buku yang terbit dengan tema makro, misalnya menyorot politik Amerika terhadap kaum muslim di dunia, atau bagaimana label “teror” sengaja dibikin Amerika untuk melindungi kepentingan ekonomi mereka. Misalnya, buku terjemahan dari penulis Amerika yang aktivis antiperang, Rahul Mahajan, yang diberi judul Perang Salib Baru: Amerika Melawan Terorisme atau Islam, terjemahan dari New Crusade: America’s War on Terrorism.
Aslinya buku ini diterbitkan oleh Monthly Review Press di New York, tahun silam, dan di Indonesia diterjemahkan oleh Penerbit Serambi, akhir tahun lalu. Dalam buku ini Rahul, yang doktor fisika dari Texas University, Austin, mengecam kebijakan luar negeri Amerika yang menjadi imperialis baru dan seolah penentu utama dalam berbagai hal di dunia. Irak tentu disinggung, tapi bukan fokus utama.
Berbeda dengan penerbit lokal, yang kurang bergairah pada Saddam Hussein, sejumlah penerbit di luar negeri justru agak menggebu-gebu “menjual” sosok pemimpin Irak sejak 1979 itu. Di beberapa toko buku impor di Jakarta, sejumlah buku tentang Saddam dipajang di rak depan. Tengoklah Toko Buku Aksara di kawasan Kemang, Jakarta Selatan. Setidaknya ada tiga buku tentang Saddam tersedia di sana: Saddam Hussein: the Politics of Revenge (Said K. Abunish), The Threatening Storm: the Case for Invading Iraq (Kenneth M. Pollack), dan The War Against America: Saddam Hussein and the WTC Attacks: A Study of Revenge (Laurie Mylrole).
Toko Buku QB setidaknya memajang enam buku tentang Saddam dan Irak. Ada karya Sandra Mackey, wartawan lepas, The Reckoning: Iraq and the Legacy of Saddam Hussein. Ada karya Con Coughlin, Saddam: Secret Life. Ada karya Richard Butler, mantan anggota ahli tim PBB yang menginspeksi senjata biologis Irak, Saddam Defiant: the Threat of Mass Destruction. Bahkan ada kesaksian seorang bekas ahli bom Irak yang kemudian mengungsi ke Amerika, Dr. Khidhir Hamza, bersama seorang wartawan, Jeff Stein, Saddam’s Bombmaker: the Terrifying Inside Story of the Iraqi Nuclear and Biological Weapon Agenda.
Ada pula buku saku yang cukup kritis terhadap kebijakan Amerika. Misalnya dari Norman Solomon, kritikus media terkenal yang menulis buku Target Iraq: What the News Media Didn’t Tell You, atau dari William Rivers, yang mengungkapkan nada sama, War on Iraq: What Team Bush Doesn’t Want You to Know. Bersamaan dengan itu, sejumlah buku yang membahas sosok Presiden George W. Bush juga hadir di pasaran, berikut berbagai ulasan soal terorisme, senjata biologis, kekuatan militer Amerika terkini, hingga masalah peka tentang minyak di balik penyerangan Amerika ke Irak.
Jika kita mengetik kata “Saddam”, atau “Iraqi”, di situs toko buku maya, Amazon, akan muncul sekitar 143 item. Sementara itu, dalam daftar buku laris yang dikeluarkan oleh situs milik Publishers Weekly, enam dari 15 buku terlaris bertemakan perang. Dalam deretan kedua terlaris bertengger buku Jarhead, yang ditulis Anthony Swofford, mantan marinir Amerika yang ikut Operasi Badai Gurun, 1991.
Buku perang laris lainnya ditulis Dana Priest, mantan wartawan Washington Post yang kemudian menjadi peneliti, The Mission: Waging War and Keeping Peace with America’s Military. Buku laris lain ditulis oleh Robert Kagan, peneliti senior di Carnegie Endowment for International Peace, berjudul Of Paradise and Power: America vs Europe in the New World Order, dan The War Over Iraq: Saddam’s Tyranny and America’s Mission, tulisan Lawrence F. Kaplan, editor senior di majalah New Republic. Perang, ternyata, tetap bisa menjadi tambang uang yang menggiurkan, termasuk untuk para penerbit.
Sumber: MBM Tempo, 06/XXXII 07 April 2003, rubrik “Iqra”